MUHAMMAD ABDUH SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
Farhan bashori hasan
KATA
PENGANTAR
Jatuhnya Mesir yang merupakan salah satu pusat kebudayaan dan
peradaban Islam ke tangan Barat pada 1798 M, menginsafkan dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban
baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan
umat Islam kembali. Maka lahirlah ide-ide pembaharuan dalam Islam, yang dimulai
di Mesir dengan salah satu tokohnya yang terkenal, Muhammad Abduh. makalah ini
bertujuan untuk mengkaji bagaimana pemikiran-pemikiran pembaharuan Muhammad
abduh dan bagaimana pengaruh pemikiran-pemikiran pembaharuannya bagi dunia
Islam. Menurut Abduh, sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah kemiskinan jiwa
dan salahnya arah berpikir, namun sebab utamanya adalah kebodohan dan pemahaman
yang salah terhadap Islam dan kehidupan. Dan untuk memperbaiki keadaan umat
secara menyeluruh mesti dikembalikan jiwa kebersamaan, kebangsaan, Islam, dan
kemanusiaan secara umum dengan pengembangan agama dan pengajaran agama pada
Pendidikan sejak dari tingkat dasar. Pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh
mencakup empat segi inti: politik dan kebangsaan, sosial, keyakinan, Pendidikan
dan pengajaran umum. Pengaruh pemikiran Abduh di Mesir telah melahirkan
ulama-ulama modern, pengarang-pengarang dalam bidang agama pemimpin politik,
dan sastrawan-sastrawan Arab. Pendapat-pendapat dan ajarannya telah
mempengaruhi dunia Islam melalui karangan-karangannya sendiri dan melalui
tulisan-tulisan murid-muridnya. Jadi makalah ini saya buat agar memotifas
sekaligus menjadi pelajaran untuk para pembaca. Dan mohon maaf jika banyak
kekeliruan dalam penulisan saya ini. mohon koreksinya.
DAFTAR ISI
B. Pemikiran dan Konsep
Reformasi Muhammad Abduh
1. Kembali kepada Sumber
Asli (Ijtihad)
2. Pembaruan dalam
Pendidikan dan Rasionalisme Islam
3. Tafsir al-Qur'an dan
Interpretasi Kontekstual
4. Reformasi Sosial dan Politik
C. Pengaruh Pemikiran
Pembaharuan Muhammad Abduh
PENDAHULUAN
Muhammad Abduh (1849-1905) merupakan salah satu tokoh terkemuka
dalam sejarah pemikiran Islam modern. Sebagai seorang intelektual, ulama, dan
reformis, beliau memainkan peran penting dalam memperkenalkan konsep-konsep
baru dalam dunia Islam, termasuk rasionalisme, reformasi sosial, dan
modernisasi pendidikan. Abduh dikenal sebagai tokoh utama dalam gerakan "Reformisme
Islam" yang bertujuan memperbaharui dan mengadaptasi ajaran Islam
terhadap perkembangan zaman yang semakin modern. Pemikirannya, yang sangat
dipengaruhi oleh interaksi dengan pemikiran Barat dan tradisi Islam,
menjadikannya salah satu pelopor dalam usaha menghidupkan kembali pemahaman
yang lebih progresif terhadap ajaran Islam.
Pada tahun 1879, beliau ditangkap oleh pemerintah Mesir karena
keterlibatannya dalam gerakan yang mengkritik pemerintahan otoriter. beliau
kemudian menghabiskan beberapa tahun di luar negeri, termasuk di Paris, untuk
melanjutkan studi dan berinteraksi dengan para intelektual Eropa. Akhirnya beliau kembali ke Mesir pada 1888,
dan menjadi salah satu tokoh terkemuka di Al-Azhar juga berperan penting dalam
reformasi pendidikan dan sosial di Mesir .
A.
BIOGRAFI
Muhammad Abduh dikenal sebagai putra asli Mesir dan berasal dari
keluarga kelas petani yang tinggal di Delta Mesir (Mesir Hilir). Tempat dan
tanggal lahirnya tidak diketahui[1],
karena orang tuanya sering berpindahpindah akibat gejolak yang terjadi pada
akhir pemerintahan Muhammad Ali (1805- 1849). Saat itu para petani tidak
terlalu peduli dengan tempat dan tanggal lahir anakanaknya. Selain itu, petani
pada saat itu tidak terlalu peduli dengan tempat lahir dan tanggal lahir
anak-anaknya. Ada yang mengatakan 1849 adalah tahun kelahiran Muhammad Abduh.
Sementara yang lain mengatakan tahun 1842. Kedua pernyataan tadi terselisih
tujuh tahun. Harun Nasution, salah seorang, yang berpendapat Muhammad Abduh
lahir pada tahun 1849, karena tahun tersebut umum dirujuk dan digunakan sebagai
tahun lahirnya[2].
Tegasnya Muhammad Abduh lahir pada masa akhir pemerintahan Muhammad Ali. Nama
ayah Muhammad Abduh adalah Abduh Ibn Hasan Kairara dari Turki, yang sudah lama
tinggal di Mesir. Ibunya berasal dari desa dekat Tanta, termasuk wilayah
Gharbiyah[3].
Ibunya berbangsa Arab dan bersilsilah sampai ke suku bangsa Umar Ibn
al-Khattab. Muhammad Abduh tumbuh dewasa diasuh kedua orang tuanya, meski bukan
dalam lingkungan pendidikan sekolah, tetapi dia memiliki keteguhan agama pada
jiwanya. Muhammad Abduh diperintahkan membaca dan menulis agar dapat menguasai
Al-Quran. Setelah fasih membaca dan mahir menulis, Muhammad Abduh diserahkan
kepada seorang guru untuk menghafal Al-Quran. Ia memiliki kemampuan hafal
AlQuran dengan masa dua tahun. Pada tahun 1862, ia dikirim untuk belajar agama
ke Tanta di Mesjid Syekh Ahmad. Setelah belajar bahasa Arab, nahwu, sharaf,
fikih, dan lain-lain selama dua tahun, Muhammad Abduh merasa tak mengerti
apa-apa. Hal ini disebabkan metode yang kurang tepat, yaitu dengan cara
menghafal di luar kepala. Tidak puas dengan metode menghafal ini, Muhammad
Abduh melarikan diri dan meninggalkan Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah
satu pamannya, tetapi harus kembali ke Tanta tiga bulan kemudian. Tetapi
Muhammad Abduh tidak yakin bahwa pembelajarannya tersebut akan memberikan hasil
baik baginya, maka dia kembali ke desanya dan bekerja sebagai petani. Ia
menikah pada tahun 1865 pada usia 16 tahun[4].
Nampaknya Muhammad Abduh sangat segan kepada orang tuanya dan orang tuanya
memiliki wibawa yang tinggi di matanya. Kewibawaan dan kedisiplinan orang
tuanyalah yang memberikan andil besar bagi keberhasilan Muhammad Abduh di
kemudian hari. Hal ini terbukti dari kekerasan hati orang tuanya untuk memaksa
dia kembali belajar ke Tanta, meskipun dia baru kawin. Disebabkan rasa takut
kepada orang tuanya ia pun meninggalkan kampungnya, tetapi bukan pergi ke Tanta
melainkan bersembunyi lagi di rumah salah satu pamannya. Di sini Muhammad Abduh
berjumpa Syekh Darwisy Khadr, paman dari ayahnya. Menurut Harun Nasution, orang
inilah yang mengubah jalan riwayat hidupnya[5].Berkat
ketekunan dan kebijaksanaan Syekh Darwisy, sikap Muhammad Abduh terhadap buku
menjadi berubah, dan ia menjadi pencinta ilmu pengetahuan. Akhirnya ia pergi ke
Tanta untuk meneruskan pelajaran. Selesai belajar di Tanta, ia meneruskan
studinya ke al-Azhâr di tahun 1866. Di sini Muhammad Abduh untuk pertama kali
bertemu Jamaluddin al-Afghani, saat alAfghani datang ke Mesir dalam perjalanan
ke Istanbul. Perjumpaan ini meninggalkan kesan yang baik dalam diri Muhammad
Abduh. Tidak heran jika pada tahun 1871, ketika al-Afghani tiba di Mesir,
Muhammad Abduh menjadi salah satu muridnya yang paling setia. Ia mulai belajar
filsafat di bawah bimbingan al-Afghani. Dia mulai menulis artikel untuk harian
baru al-Ahram tak lama setelah didirikan[6].
Pada tahun 1877, Muhammad Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhâr dan mendapat
gelar ‘Âlim. Sejak itu, ia mulai mengajar di al-Azhâr, di Dâr al-`Ulûm, dan di
rumahnya. Beberapa buku yang diajarkannya, antara lain buku karya Ibn
Miskawaih, buku karya Ibn Khaldun (Mukaddimah), dan buku karya Guizot Sejarah
Kebudayaan Eropa yang diterjemahkan ke Bahasa Arab oleh al-Tahtawi pada tahun
1857. Ketika alAfghani diusir dari Mesir (1879) karena gerakan menentang
Khedewi Tawfik, Muhammad Abduh dipandang terlibat dan dibuang ke luar kota
Kairo. Namun, pada tahun 1880 ia diperbolehkan kembali ke Mesir dan dikukuhkan
sebagai redaktur “alWaqâ’i` al-Mişriyah” (surat kabar resmi Pemerintah Mesir).
Di masa itu nasionalisme Mesir timbul. Muhammad Abduh sebagai d yang disponsori
pemerintah “al-Waqâ'I’al-Mişriyah". Nasionalisme mulai muncul saat itu di
Mesir. “Al-Waqâ’i` al-Mişriyah” di bawah kepemimpinan Muhammad Abduh tidak
hanya menerbitkan ulasan berita resmi, termasuk menerbitkan artikel-artikel
yang berkaitan dengan kepentingan nasional Mesir[7].
Tekanan-tekanan penguasa yang terkungkung oleh penjajah menyebabkan
pemberontakan yang dipimpin oleh `Urabi Fasya pada tahun 1882. Peristiwa ini
melibatkan peran Muhammad Abduh sebagai seorang pemimpinnya, sehingga ia
ditangkap, dipenjara dan dibuang ke luar negeri. Mulanya ke Beirut, dan
dilanjutkan ke Paris. Muhammad Abduh bersama al-Afghani menerbitkan majalah al-
`Urwah al-Wuŝqâ di tahun 1884. Majalah ini tak berusia lama karena baru
menerbitkan 18 nomor, lalu dilarang
terbit oleh pemerintah Perancis. Pada tahun1885, Muhammad Abduh kembali ke
Beirut melalui Tunis dan mengajar di sana. Tiga tahun kemudian (1888), atas
usaha kolega-koleganya Muhammad Abduh dibolehkan pulang ke Mesir tetapi tidak
diizinkan mengajar. Hal ini membuat pemerintah Mesir khawatir dan takut
terhadap pengaruh Muhammad Abduh kepada mahasiswanya. Meski dilarang mengajar
tetapi ia bekerja sebagai hakim di salah satu Mahkamah. Tahun 1894, ia diangkat
menjadi Mufti Mesir dan kedudukan ini diembannya sampai meninggal dunia tahun
1905.
B.
Pemikiran
dan Konsep Reformasi Muhammad Abduh
Pemikiran Muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh pemikiran
rasionalisme, modernitas, dan pemikiran sosial-politik yang berkembang di
Barat. Namun, Abduh tetap berusaha mempertahankan kesetiaan terhadap ajaran
Islam yang murni. Berikut adalah beberapa aspek utama dalam pemikirannya yang
mencakup reformasi agama, pendidikan, sosial, dan politik:
1.
Kembali kepada Sumber Asli
(Ijtihad)
Salah satu kontribusi terbesar Abduh dalam sejarah pemikiran Islam
adalah penekanannya pada pentingnya ijtihad (penalaran bebas) dan kembali
kepada sumber asli ajaran Islam: al-Qur'an dan Hadis. Abduh menekankan bahwa
untuk memahami ajaran Islam secara benar, umat Islam harus kembali kepada
sumber-sumber asli tersebut dan menafsirkannya sesuai dengan konteks zaman yang
sedang berlangsung[8]. Menurut Abduh, banyak kesalahan dalam praktik
keagamaan umat Islam pada masa itu disebabkan oleh ketidakmampuan untuk berpikir
kritis dan menggunakan akal sehat. Ia mengkritik tradisi taklid (mengikuti
pendapat ulama tanpa berpikir) yang telah menghambat kemajuan umat Islam. Dalam
pandangannya, ijtihad memungkinkan umat Islam untuk beradaptasi dengan
perkembangan zaman tanpa mengubah prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Hal ini
membuka jalan bagi pemikiran yang lebih dinamis dan progresif dalam menghadapi
tantangan zaman - Mernissi, Fatema. The Veil and the Male Elite: A Feminist
Interpretation of Women’s Rights in Islam (1991).
2. Pembaruan
dalam Pendidikan dan Rasionalisme Islam
Abduh sangat peduli dengan reformasi pendidikan di dunia Islam. Ia
berpendapat bahwa umat Islam harus memperbarui sistem pendidikan mereka dengan
menggabungkan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan modern, seperti matematika,
sains, dan filsafat. Baginya, Islam tidak bertentangan dengan sains dan
teknologi, malah sebaliknya, Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk
belajar dan memanfaatkan akal[9] .
Ia mengkritik sistem pendidikan tradisional yang terlalu fokus pada
hafalan teks-teks agama tanpa memberikan ruang bagi pengembangan pemikiran
kritis. Abduh percaya bahwa umat Islam akan tetap tertinggal jika tidak
mengembangkan ilmu pengetahuan secara bersamaan dengan pengembangan
spiritualitas mereka. Oleh karena itu, ia mendukung pembukaan sekolah-sekolah
modern yang mengajarkan keduanya: ilmu agama dan ilmu umum. Ia juga memperkenalkan
pendekatan pendidikan yang lebih inklusif dan rasional, yang memungkinkan
pelajar untuk berpikir secara kritis dan mandiri[10].
3.
Tafsir al-Qur'an dan
Interpretasi Kontekstual
Abduh berperan besar dalam mengembangkan tafsir al-Qur'an yang
lebih rasional dan kontekstual. Ia berpendapat bahwa untuk memahami al-Qur'an
secara benar, umat Islam harus melihatnya dalam konteks sosial dan sejarah yang
relevan. Salah satu karya utamanya adalah Tafsir al-Manar, yang ditulis
bersama Muhammad Rashid Rida. Tafsir ini menekankan bahwa al-Qur'an adalah
kitab yang dapat diterjemahkan dalam berbagai konteks zaman, sehingga relevansi
pesan-pesan Islam tetap terjaga meskipun dunia mengalami perubahan[11].
Abduh menegaskan bahwa penafsiran al-Qur'an tidak boleh statis dan
terbelenggu oleh pandangan-pandangan tradisional, tetapi harus dapat menanggapi
kebutuhan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam Tafsir al-Manar, ia
mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang universal, yang mengajarkan
prinsip-prinsip moral yang bisa diterapkan dalam kehidupan modern. Abduh,
Muhammad & Rashid Rida, Muhammad. Tafsir al-Manar(1925).
4.
Reformasi Sosial dan
Politik
Abduh juga berusaha membawa reformasi dalam bidang sosial dan
politik. Ia mengkritik pemerintahan otoriter yang menindas rakyat dan tidak
memenuhi prinsip-prinsip keadilan Islam. Abduh mendukung sistem pemerintahan
yang berbasis pada keadilan sosial dan kebebasan individu, dengan menekankan
pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan politik. Baginya, Islam
adalah agama yang mengajarkan tentang kebebasan, persamaan, dan keadilan
sosial. Abduh juga memperjuangkan hak-hak perempuan dalam masyarakat Islam. Ia
menentang diskriminasi terhadap perempuan dalam banyak aspek kehidupan,
terutama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Menurut Abduh, Islam memberikan
hak-hak yang setara antara laki-laki dan perempuan, dan tradisi sosial yang
menindas perempuan harus diubah[12].
Abduh menyatakan: “Sebenarnya yang paling dominan sekarang ini
adalah kemajuan intelektual dan pemikiran. Bangsa yang luas pikirannya dan
menguasai bidang ilmu pengetahuan, akan kuat dan berkuasa serta menguasai
bangsa-bangsa lainnya. Jika kita terdidik, maka akan ada satu perasaan di
antara kita. Ketika itu setiap orang akan merasa dirinya memiliki kewajiban
terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Sebab-sebab kemiskinan suatu
negara karena tidak adanya pendidikan intelektualitas secara resmi yang dapat
membuat tiap warga negara merasakan manfaat dan bahaya negara sebagai manfaat
dan bahaya terhadap dirinya sendiri.” (al-Bahi, 1975). Menurut Abduh,
penyebab melemahnya persatuan Islam adalah kemiskinan jiwa dan kesalahpahaman.
Hal ini terjadi tidak hanya di Mesir tetapi juga di negaranegara Islam lainnya.
Karena itu, umat Islam didominasi oleh makna keegoisan dan persatuan yang
semakin menurun. Tetapi penyebab utamanya adalah ketidaktahuan dan
kesalahpahaman tentang Islam dan kehidupan. Abduh kemudian melakukan kajian
untuk memperbaiki kondisi masyarakat secara keseluruhan dengan mengembalikan
rasa persatuan, kebangsaan, keislaman, dan semangat kemanusiaan pada umumnya.
Cara untuk meningkatkannya adalah dengan pengembangan agama dan pengajaran
Islam dalam Pendidikan dari tingkat dasar. Menurut Abduh, penyebab kemunduran Islam antara lain stagnasi
pendidikan agama. Stagnasi ini diakibatkan oleh kelalaian pendidikan agama
seperti yang terjadi di beberapa negara, atau implementasinya yang tidak tepat
seperti yang terjadi di negara lain. Di mana-mana Pendidikan agama dilalaikan.
Agama hanya jadi nama yang disebut-sebut dan tak berarti sama sekali. Jika
orang memiliki akidah, hanyalah akidah kelompok Jabariah dan Murjiah. Seperti
keyakinan manusia tidak memiliki ikhtiar dalam bekerja. Hal itu terjadi, karena
mereka tidak tahu hakikat keyakinan agama, juga karena melalaikan isi kitab dan
sunnah Rasul.
C. Pengaruh
Pemikiran Pembaharuan Muhammad Abduh
Manusia, dalam pendapat Muhammad Abduh, bukan manusia yang pasif, melainkan manusia dinamis yang mempunyai ruang berpikir luas, yang dibatasi hanya oleh ajaran-ajaran dasar dalam Alquran dan hadis. Tidak heran jika ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh bersifat dinamis dan dasar pemikiran atau teologinya dapat memajukan umat Islam di era sains (ilmu pengetahuan) dan teknologi modern ini. Pengaruh pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh di Mesir, telah melahirkan ulama-ulama modern seperti Mustafa al-Maraghi, Mustafa Abd al-Raziq, Tantawi Jauhari, Ali Abd al-Raziq, dan Rasyid Ridha. Di sisi lain, pengaruh pemikiran pembaruannya pun turut menelurkan penulis-penulis di bidang agama. Sebut saja Farid Wajdi, Ahmad Amin, Qasim Amin, dan Muhammad Husain Haikal. Pemikiran pembaharuan tersebut tak hanya mencetak ulama dan penulis, ada pula pemimpin politik dan sastrawan. Pemimpin politik yang dimaksud Sa`ad Zaghlul (Bapak Kemerdekaan Mesir) dan Mufti al-Sayyid. Sedang sastrawan, antara lain Taha Husain, al-Mamfaluti, dan Ahmad Taimur[13]. Pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran Muhammad Abduh mempengaruhi dunia Islam umumnya terutama dunia Arab melalui karangan-karangan Muhammad Abduh sendiri, dan melalui tulisan-tulisan para murid-muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha pada majalah ‘al-Manar’ dan menulis Tafsir al-Manar,’ buku Tahrîr al-Mar’ah yang ditulis Qasim Amin, Farid Wajdi menulis buku Dâ’irah al-Ma`ârif dan karangankarangan lainnya, lalu Muhammad Husain Haikal mengarang buku Hayâh Muhammad, Abu Bakar dan sebagainya. Sementara karya-karya yang ditulis Muhammad Abduh sendiri telah diterjemahkan ke bahasa Turki, Urdu, dan Indonesia[14].Gerakan pembaharuan di Indonesia yang dicetuskan dan dimotori Muhammadiyah, Persatuan Islam dan al-Irsyad bertendensi dan terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh[15]. Paling tidak terbaca melalui pemikiran-pemikiran tokoh kedua organisasi tersebut dari bacaan yang diulas pada majalah al-`Urwah al-Wuŝqâ, majalah al-Manar, tafsir al-Manar dan Risâlah al-Tauhîd. Ungkapan itu, ditegaskan Harun Nasution, ada benarnya. Jika yang dimaksud dengan pengaruh adalah butir-butir tertentu dari pemikirannya, maka pendapat Abduh untuk kembali kepada Al-Quran dan al-Hadis, tidak wajib berpendirian dengan mazhab (aliran) tertentu, memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum pendidikan agama, tiada keharaman menggunakan pakaian orang atau lainnya (dapat disebut) sebagai contoh-contohnya. Tidak berlebihan kalau dikatakan kemerdekaan Indonesia dan negara-negara Islam lainnya, terinspirasi dan terpengaruhi pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi dasar pemikiran atau teologinya tidak tampak mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia. Ada pengaruh di Indonesia tetapi tidak disertai kemunculan pemikir-pemikir ulung dalam bidang agama Islam, seperti pengaruh yang ditimbulkan dan ditinggalkannya di Mesir pasca setelah Muhammad Abduh wafat (Nasution, 1987). Untuk mengetahui apa sebab tidak munculnya pemikir-pemikir ulung itu di Indonesia masih memerlukan penelitian yang lebih dalam. Barangkali salah satu sebabnya adalah karena sudah demikian berakarnya pengaruh aliran teologi Asy`ariyah dalam masyarakat Islam Indonesia yang lebih bercorak Jabariyah, sedangkan aliran teologi Mu`tazilah yang mempunyai corak Qadariyah serta bersifat rasional dan dinamis masih dianggap aliran yang sesat. Adanya paham bahwa golongan Mu`tazilah adalah golongan yang sesat diisyaratkan oleh Harun Nasution dalam Pengantar Bukunya, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah. Dalam pengantar buku itu, ia menjelaskan alasan mengapa bukunya itu baru diterbitkan pada 1987. Kandungan bukunya itu merupakan pokok pembahasan dari tesis Ph.D yang diselesaikannya pada Maret tahun 1968 di Universitas McGill, Montreal, Canada. Alasannya adalah karena kesimpulan yang diperoleh dari penelitian mengenai Muhammad Abduh kelihatannya waktu itu belum dapat diterima masyarakat Islam Indonesia.
A.
Kesimpulan
Muhammad Abduh yang lahir di
Mesir pada pertengahan abad XIX adalah seorang pembaharu yang sangat terkenal
karena pemikiran-pemikirannya yang sangat cemerlang. Pemikirannya itu mencakup
empat segi inti, yaitu politik dan kebangsaan, sosial, keyakinan, serta
pendidikan dan pengajaran umum.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, S. M. (2000). Risālat al-Tawhid. Dar al-Hilal.
‘Abduh, S. M. (2001). Tafsir Juz ‘Amma (XII). Dar al-Hilal.
Abdullah, T. (2018). Teologi
Rasional : Pemikiran Muhammad Abduh. Educational Journal of History and
Humanities, 1(2).
Adams, C. C. (1968). Islam
and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by
Muhammad Abduh. Russell & Russell.
al-Bahi, M. (1975). al-Fikr
al-Islâmî al-Hadiŝ wa Siratuhu bi al-Isti`mâr al-Gharbiyyi (VII). Maktabah
Wahbah.
Ali, A. M. (2000). Ijtihad
dalam Pandangan Muhammad Abduh. Ahmad Dahlan dan Mohammad Iqbal (XII). Bulan
Bintang.
Amir, A. N. (2020). The
Influence of Abduh’s Principle On Rashid Rida. Minhaj: Jurnal Ilmu Syariah,
1(2). https://doi.org/10.52431/minhaj.v1i2.266
Amir, A. N. (2021a).
Muhammad Abduh and His Epistemology of Reform: Its Essential Impact on Rashid
Rida. HERMENEUTIK, 15(1). https://doi.org/10.21043/hermeneutik.v15i1.8517
Amir, A. N. (2021b). PENGARUH MUHAMMAD ABDUH DI KEPULAUAN
MELAYU-INDONESIA. Kodifikasia, 15(2).
Amir, A. N., & Rahman,
T. A. (2021). The Influence of Muhammad Abduh in Indonesia. International
Journal Ihya’ ’Ulum Al-Din, 23(1). https://doi.org/10.21580/ihya.23.1.7076
Arwen, D., & Kurniyati,
E. (2019). PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH. Jurnal Kajian Islam Dan
Pendidikan Tadarus Tarbawy, 1(1). https://doi.org/10.31000/jkip.v1i1.1492
Asifa, F. (2018). PEMIKIRAN PENDIDIKAN MUHAMMAD ABDUH DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENGEMBANGAN TEORI PENDIDIKAN ISLAM. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 15(1). https://doi.org/10.14421/jpai.2018.151-06
[1] Ridha, 1999;
Syuhatah, 2003
[2] Amir, 2021a;
Nasution, 1982; Shabir, 2017
[3] Adams, 1968;
Faqihuddin, 2021
[4] Adams, 1968;
Jameelah, 1968; Nasution, 1982
[5] Amir &
Rahman, 2021; Faqihuddin, 2021; Nasution, 1982
[6] Ali, 2000;
Khairiyanto, 2020
[7] Amir &
Rahman, 2021; Nasution, 1982; Ridha, 1999
[8] Abduh, Muhammad. Al-Manar (1901)
[9] Abduh, Muhammad. Al-Manar
(1901)
[10] Ali, K. Liyakat. Islamic Modernism in the 19th Century
(2011).
[11] Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy, Science, Culture, and
Religion: An Illustrated Encyclopedia (2003).
[12] Mernissi, Fatema. The Veil and the Male Elite: A Feminist
Interpretation of Women’s Rights in Islam (1991).
[13] Amir, 2020;
Nasution, 1987
[14] Amir, 220,
2021b, 2021a; Fitriana & Syahidin, 2021; Nasution, 1982
[15] Amir &
Rahman, 2021; Fitriana & Syahidin, 2021; Shabir & Susilo, 2018
Komentar
Posting Komentar