SEBUAH RASA
DI BALIK TEMBOK YANG TAK
KASAT MATA
Di
sebuah pesantren yang terletak jauh dari keramaian kota, di tengah hamparan
sawah yang hijau dan sunyi, hidup seorang santri muda bernama Zidan Fadlan
Rabbah. Pesantren itu adalah tempat yang penuh dengan kedamaian, di mana setiap sudutnya dihiasi dengan suara lantunan doa dan
pembelajaran agama yang tiada hentinya. Di sana, aturan-aturan ketat
diberlakukan, dan kehidupan santri dilandasi oleh ajaran yang luhur dan
disiplin yang tinggi. Namun, di balik kesunyian dan ketatnya aturan, ada sebuah
kisah yang tersembunyi, sebuah kisah tentang cinta yang terhalang oleh sekat-sekat
yang tak kasat mata.
Zidan
adalah santri yang tekun belajar. Dari pagi hingga malam, ia hampir tak pernah
berhenti menuntut ilmu. Pagi dimulai dengan shalat subuh berjamaah, dilanjutkan
dengan pembelajaran kitab-kitab kuning yang kaya akan hikmah dan filsafah. Siangnya diisi dengan berbagai diskusi ilmiah, sedangkan malamnya diwarnai dengan dzikir dan renungan
pribadi. Meskipun ia terbilang seorang santri yang cerdas dan ulet,
Zidan selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Ada sebuah kekosongan di
hatinya yang tak bisa ia isi dengan kitab-kitab
atau pengajaran di pesantren.
Di
antara sekian banyak santri yang ada di pesantren itu, ada satu sosok yang
selalu menarik perhatian Zidan. Namanya Aisyah. Gadis itu adalah teman satu
angkatan di pesantren. yang dikenal bukan hanya karena
kecantikannya, tetapi juga karena keteguhan imannya. Aisyah adalah seorang
santriwati yang cerdas, ramah, dan selalu terlihat tenang, seakan-akan
dunia ini tak pernah memberikan beban berat baginya. Kepribadiannya yang lembut dan rendah hati membuatnya dihormati dan di sayangi oleh santri lain, terutama oleh para ustadz dan ustadzah
yang mengajar di pesantren tersebut.
Zidan
pertama kali mengenal Aisyah saat mereka duduk di kelas yang sama, beberapa bulan yang lalu, sebuah ruangan
dilantai tiga yang didepanya terhampar jelas keindahan gunung Argopuro. Awalnya, Zidan tak terlalu memperhatikan Aisyah. Namun,
seiring waktu, ia mulai merasa ada sesuatu yang menarik dalam diri gadis itu.
Kepribadiannya yang tenang dan kemampuannya dalam memahami ajaran agama membuat
Zidan merasa nyaman saat berdialog dengannya (meski hanya dalam forum diskusi). Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang kitab-kitab
klasik yang diajarkan di pesantren. Diskusi-diskusi itu tidak pernah padam meski
terkadang takbisa di redam, namun selalu berpusat pada titik terang dari sebuah kemuskilan, lambat laun Zidan pun merasakan ada sebuah ketertarikan yang tak mampu ia
gambarkan.
Aisyah
pun demikian. Meskipun ia sangat menghormati Zidan sebagai teman
dan sesama santri, ada sebuah perasaan yang tumbuh di dalam hatinya. Perasaan
yang tak bisa ia ungkapkan begitu saja, perasaan yang bersilangan
dengan ajaran dan aturan yang ada di pesantren. Cinta, meskipun merupakan
bagian dari fitrah manusia, adalah sesuatu yang harus ditahan dan dijaga di
pesantren. Pesantren adalah tempat untuk mencari ilmu,jati diri dan ketentraman bukan tempat untuk mengejar cinta dunia. Aturan yang ada
begitu ketat, tidak membedakan antara santri putra
dan putri, dan selalu mengingatkan bahwa cinta di luar pernikahan
adalah sesuatu yang harus di tahan.
Namun,
hati tidak bisa dibohongi. Setiap kali Zidan melihat Aisyah, hatinya berdebar,
begitu pula dengan Aisyah yang merasakan hal yang sama. Mereka sering
bertemu di kegiatan-kegiatan pesantren, seperti kuliah atau
dalam kegiatan pengajian umum. Sering kali mereka saling berbicara dalam diskusi-diskusi
kelompok yang diadakan di pesantren, namun percakapan itu selalu
terjaga dalam koridor ilmiah, tidak pernah melenceng dari topik yang diajarkan.
Meski
begitu, perasaan itu tetap ada, seperti benih yang tumbuh dalam hati mereka.
Zidan tahu bahwa perasaan itu bukanlah hal yang bisa diungkapkan begitu saja.
Ia memahami betul aturan yang berlaku di pesantren, dan ia tidak ingin membuat
masalah yang bisa mengganggu keharmonisan yang telah ada di sana. Namun,
semakin hari, rasa itu semakin kuat dan semakin sulit untuk ditahan.
Sore itu, setelah
pengajian kitab Risalatul Muzakkarah,
saat hujan rintik-rintik menyiram halaman pesantren, Zidan dan Aisyah masih termenung di teras masjid, memandangi air hujan yang turun dengan
tenang. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang ilmu, tentang kehidupan,
dan tentang harapan-harapan mereka ke depan (seakan mereka lupa terhadap aturan
yang berlaku, tampa ragu, tampa bimbang. Cinta memang bisa menjungkir balikkan). Namun, di balik percakapan itu, ada sesuatu yang
terpendam. Ada rasa yang tak bisa mereka ungkapkan, meskipun ada ketegangan
yang samar-samar terasa di udara.
“Aisyah,”
kata Zidan, suaranya perlahan, “pernahkah kau merasa seperti… ada sesuatu yang
lebih besar daripada apa yang kita pelajari di sini?”
Aisyah
menoleh, tatapannya lembut. “Maksudmu?”
“Seperti
cinta,” jawab Zidan pelan, hampir berbisik. “Cinta yang lebih besar dari segala
ilmu yang kita pelajari. Sebuah rasa yang tak bisa kita ungkapkan, tapi selalu
ada di dalam hati.”
Aisyah
terdiam sejenak, matanya menatap ke depan, pada hujan yang semakin lebat. Ia
tahu apa yang dimaksudkan Zidan, dan ia juga merasakan hal yang sama. Namun, ia
tak bisa mengungkapkan perasaannya begitu saja. Ada aturan yang mengikat
mereka, ada batasan yang tak bisa mereka langgar. Dalam pesantren, cinta di
luar pernikahan adalah sesuatu yang harus dijaga dengan sangat hati-hati.
“Aku
tahu,” jawab Aisyah akhirnya, “cinta memang ada, tapi kita harus ingat bahwa di
sini, kita datang untuk belajar, bukan untuk mencari cinta. Cinta adalah ujian,
dan kita harus bisa menahannya.”
Zidan
mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku hanya… aku hanya ingin kau tahu, Aisyah,
bahwa perasaanku ini bukanlah sesuatu yang bisa aku hilangkan begitu saja.
Meskipun aku tahu kita tidak bisa bersama seperti yang kita harapkan, tapi aku
ingin kau tahu bahwa aku akan selalu menghormati dan menjaga perasaan ini,
dalam diam.”
Aisyah
terdiam, lalu berkata dengan suara yang lebih lembut, “Aku pun merasakan hal
yang sama, Zidan. Tapi kita harus ingat bahwa cinta yang sejati adalah cinta
yang bisa menahan diri, cinta yang bisa memberi ruang untuk ilmu dan ibadah.
Kita harus menjaga perasaan ini di tempat yang aman, di dalam hati kita.”
Zidan
mengangguk, perasaan itu semakin menguat dalam dirinya. Meski ia sadar akan
aturan yang mengikat, hatinya tetap ingin mengungkapkan apa yang telah lama
terpendam. Namun, ia tahu, dalam setiap langkah yang diambil, ia harus
berhati-hati, menjaga rasa itu agar tidak merusak kedamaian yang telah ada di
pesantren.
Hari-hari
pun berganti bulan, dan meskipun mereka sering bertemu dalam kegiatan
pesantren, mereka tak pernah lagi berbicara tentang perasaan mereka. Zidan semakin tenggelam
dalam studinya, dan Aisyah pun sibuk dengan berbagai kegiatan pesantren. Mereka
masing-masing berusaha untuk mengendalikan perasaan mereka, namun di dalam hati
mereka, cinta itu tetap ada, meskipun tersembunyi.
Namun,
seperti halnya sebuah sungai yang terus mengalir, cinta mereka tak pernah
benar-benar berhenti. Pada suatu hari, setelah usai diskusi. Aisayah berdiri termenung di balkon
depan kelas memandangi keindahan Argopuro, Zidan pun berjalan menghampiri dan
memulai percakapan.
“Aisyah,”
kata Zidan, suaranya lembut namun tegas, “aku ingin berterima kasih padamu.
Karena kau telah mengajarkanku tentang cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak
harus dimiliki, tapi cukup dihargai dan dijaga.”
Aisyah
menoleh, tersenyum dengan tulus. “Kita telah belajar banyak, Zidan. Dan
mungkin, ini adalah bagian dari perjalanan kita. Cinta yang sejati adalah cinta
yang tidak egois, yang tidak ingin memiliki, tetapi selalu memberi.”
Zidan
tersenyum, matanya penuh dengan rasa syukur. “Terima kasih, Aisyah. Meskipun
kita tak bisa bersama, aku akan selalu menghormati dan menjaga perasaan ini.”
Aisyah
mengangguk, dan mereka berdua terdiam, menikmati kedamaian malam yang penuh
dengan makna.
Cinta
mereka memang belum bisa bersatu dalam kenyataan, tetapi di balik aturan
pesantren yang ketat, cinta itu tetap hidup, abadi, meski
dalam diam. Mereka menyadari bahwa cinta sejati adalah cinta yang tidak selalu
harus memiliki, tetapi lebih kepada bagaimana menghormati dan menjaga perasaan
itu dalam batas-batas yang ada. Cinta yang lebih besar dari apapun, yang
mengajarkan mereka tentang kesetiaan, pengertian, dan kesabaran.
Dan di
balik kelambu aturan yang membatasi, cinta itu tetap ada, meskipun tak tampak
oleh mata, namun selalu hidup dalam setiap langkah mereka.
Diambil dari kisah nyata
Komentar
Posting Komentar