TERIAKAN SETAN!
Dari terang menuju petang, kala sang surya kian melemah saat malamkan membunuh perlahan. sandikala, ya orang jawa menyebutnya demikian. Konon katanya, saat malam tiba para dedemit akan bermunculan, bergentayangan menampakkan diri, menjelma menjadi sosok yang menakutkan, berwajah hancur tak karuan, matanya membelalak, lidahnya menjulur, dan dari mulutnya bersimbah darah segar. Orang Tapal kuda menyebutnya dhindhedhin sosok gentayangan dari dukun santet yang tewas dibunuh warga karena tingkahnya yang sudah lama meresahkan. Ada pula sosok perempuan berbadan kuda, konon katanya ia adalah seorang santri yang menjadi abdi dhelem kyai. hingga masalah mengutuknya menjadikannya manusia berbadan kuda, dikarenakan ia dengan lancang mencuri cincin emas milik bu nyai. Kisah Herlina yang bernasib malang.
Balet baru. samar-samar suara azan magrib terdengar, perlahan mengeras, berseru memanggil ribuan santri untuk kembali pada sang agung , kembali untuk berdialog dengan pujian-pujian tuhan, kembali tuk mendendangkan nyanyian-nyanyian surga. Di mushola saat para santri sedang syahdu mengadu pada ya wadudu. Bakir santri nakal, melangkah dengan angkuh menuju sumber mata air yang berada di sawah dekat pesantren. Ia memang acuh tak acuh pada peraturan pesantren. Para asatidz bukanya tak menegurnya atau menghukumnya, mereka sudah kewalah untuk mendidik bakir. untuk saat ini para asatidz masih memikirkan cara untuk merubah anak didiknya yang istimewa ini. Ketika para santri yang lain sedang sibuk bergelut dengan kegiatan. Bakir malah sibuk untuk membersihkan badan, mandi di sawah adalah tempat cukup epik untuk menghindari kegiatan dan pemantauan keamanan. Padahal di jalan setapak menuju pemandian ada tulisan berwarna merah.
“HATI-HATI MANDI MALAM HARI”
“emang kenapa sih mandi malam hari” bakir berhenti di papan tulis, bertanya-tanya bergelagat meremehkan.
“ada tuyul, mbak kunti, atau genderuwo yang lebih tampan dari wajahku ini. Ah bodoh lah”. Bakir terus mengoceh, berjalan menembus kegelapan tanpa ada rasa takut. Setiba di pemandian, Bakir menanggalkan baju dan sarungnya, ia letakkan di atas batu besar. Bakir tak langsung mandi, dia akan melakukan ritual konyolnya. Merokok dalam keadan telanjang, berjongkok di atas batu besar sembari menghilangkan sedikit keringat rekat. Asap bertebaran, menyeruak, mengepul dari hembusan nafas Bakir, aroma tembakau menyatu dengan aroma hujan. Bakir masih asik bersantai, asik berdialog manja dengan malam. “ sampai kapan aku begini ya” bakir batin dalam dirinya, ternyata ada potensi dia menjadi pribadi yang lebih baik. “tapi bodo amat lah, hidup kok dibuat repot” lagi-lagi bakir acuh tak acuh pada dirinya. Bakir lalu beranjak dari tempat duduknya, berjalan hati-hati, sedikit melompat menuruni batu besar. Bakir membasahi tubuhnya yang tambun “ yassalam, seger banget” bakir sedikit berteriak menikmati air yang segar. Hingga tiba pada saat bakir asyik menggosok tubuhnya. Na... na na... nana... nana... nana... yeyeyeee”. Di tengah asyik berdendang, bakir melihat sekelebat sosok bayangan putih melintas cepat dari atas jalan setapak. “aghejek eh conk” (mau bercanda km nak).
Di saat kebanyakan orang di hadapkan dengan kegelapan, hanya berteman sepi dan angin malam, lalu melihat sekelebat bayangan, atau mendengar suara tangisan misterius. lihat apa yang terjadi, mungkin mereka akan terkejut, lari sempoyongan, menerabas meninggalkan kegelapan. Namun kali ini tidak dengan bakir, ia malah mengambil sebilah bambu, berjalan menuju kegelapan, ia semakin geram, semakin menekan rahangnya tegas, berjalan berani menenteng sebilah bambu dalam ke adaan telanjang. (jangan di bayangkan hehehe...). “woy setan, mateah dukaleh pola?” (hey setan, mau mati dua kali?). sek.. sek.. sek... dari arah belakang bakir mendengar suara, Bakir menoleh memandang tajam, tak ada apa hanya hamparan padi yang kesepian. Kini suara itu berpindah kesisi kanan. Bakir menoleh, tak ada apa. Suara itu terus berpindah ke kiri, ke atas, namun sosok itu tetap tidak ada. Bakir berpikir ini bukan main-main ini bukan manusia. ”sek.. sek..sek...” suara itu kembali muncul dari arah tumpukan jerami. Bakir menatap tajam “wey setan marah mun ben angko keluar!” (hey setan, klok berani keluar!). Bakir geram, menantang mahluk itu setelah lama di buat kebingungan “jancok jih marah keluar. setan,patek,bebih jih”(jancok, ayo keluar setan. Anjing,babi) kata-kata mutiara teruntai dari mulut bakir secara natural, ia benar-benar geram, emosi yang ingin terlampiaskan. Kemudian dari balik jerami ada siluet manusia yang jalan mendekat, sosok serba putih itu benar-benar keluar, jalan mendekati bakir. Bakir sedikit membungkuk, berjalan mundur perlahan-lahan. Bukannya bakir takut melihat sosok itu, bukannya bakir ingin mengeluarkan jurus seribu bayangan untuk kabur bak pecundang, melainkan bakir mengambil ancang- ancang berlari ke depan sekencang-kencangnya, melompat lambung tepat mengarahkan sebilah bambu ke kepala sosok itu ”katepak” hilang, sosok itu benar-benar hilang. Bakir memandang kesisi kiri, ke kanan dan atas, namun sosok itu benar benar hilang tampa bekas. Tapi bakir masih merasakan sosok itu berada di sekitarnya, masih terus memantaunya, masih terus membuat bakir kebingungan. Perlahan-lahan Bakir menoleh ke belakang, membalikan seluruh badannya, memastikan bahwa sosok itu sudah “ SETAAAAN....” yang benar saja sosok itu kini berada tepat di hadapan bakir, meneriaki bakir yang sedang bertelanjang bulat, sontak bakir terkejut terheran-heran bergegas bakir membuang sebilah bambu dengan cekatan bakir memeluk dadanya dan menutupi sebilah bambu berbulu yang melekat pada tubuhnya “conk mon satiah sapah sesetan?” (nak kalau sekarang siapa yang jadi setannya). Sosok itu kembali bertanya pada bakir namun kali ini ia tidak berteriak. Bakir hanya diam, menunduk ta’zim di hadapan sosok itu. “lihat lah dirimu nak?” bakir melihat tubuhnya yang penuh noda tak hanya lumpur dan serpihan jarami saja, melainkan noda dosa yang selama ini ia lakukan. “sepornah kiaeh” (maafkan aku kiai). Bakir mengakui kesalahan yang selama ini ia lakukan, menyesali perbuatannya. lalu bakir mendongakkan kepalanya ke arah kyai , namun kyai tidak ada, tidak ada dihadapan bakir, tidak ada untuk selama-lamanya. Setelah mendengar lantunan arab dari toa masjid yang berarti sesungguhnya kami kembali.
Komentar
Posting Komentar